Di zaman ketika layar memerintah telapak tangan dan dunia anak-anak menyusut menjadi cahaya biru gawai, mainan tradisional Nusantara perlahan tersingkir, bukan karena kalah makna, melainkan karena kalah panggung.
Namun di kaki Bukit Pakar, di Desa Ciburial, Kabupaten Bandung, suara kayu, kain, dan tawa masa lalu kembali menemukan napasnya. Di Komunitas Hong, mainan tradisional tidak sekadar dikenang, tetapi dirancang ulang agar tetap hidup, bergerak, dan relevan dengan denyut zaman.
Kebangkitan ini lahir dari kolaborasi antara Program Studi S1 Desain Produk serta S1 Kriya (Tekstil dan Fashion) Telkom University bersama Komunitas Hong dalam sebuah program pengabdian masyarakat bertajuk, “Eksplorasi Ekosistem Mainan Tradisional bersama Komunitas Hong untuk Keberlanjutan Budaya”. Sebuah pertemuan antara akademik dan akar rumput, antara ruang kelas dan tanah tempat anak-anak berlari.
Program tersebut merupakan bagian dari Program Inovasi Seni Nusantara (PISN) yang didanai pada tahun 2025 dan dilaksanakan sepanjang Oktober hingga Desember. PISN sendiri berada di bawah naungan Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Direktorat Riset dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, sebuah ikhtiar negara untuk memastikan seni tidak berhenti di galeri, melainkan menyentuh kehidupan.
Dipimpin oleh Nurul Fitriana Bahri, tim pengabdian ini melibatkan dosen Terbit Setya Pambudi, Andrianto, dan Gina Shobiro Takao, serta tiga mahasiswa Program Studi S1 Desain Produk Telkom University. Mereka tidak datang membawa solusi instan, melainkan mendengarkan, mencatat, dan merancang bersama komunitas.
Menurut Nurul, kolaborasi ini diarahkan untuk mendorong pertumbuhan Komunitas Hong secara menyeluruh, mulai dari perbaikan fasilitas, pendokumentasian mainan dan permainan tradisional, penguatan sumber daya manusia, hingga penciptaan produk turunan berbasis mainan tradisional. Tujuannya satu: agar permainan tradisional Sunda dapat melampaui batas ruang dan generasi.
Selama ini, Komunitas Hong dikenal sebagai ruang belajar alternatif bagi anak-anak dan masyarakat. Namun, ruang tersebut belum sepenuhnya tertata. Area bermain belum terklasifikasi, fasilitas panggung terbatas, dan minimnya signage edukatif membuat nilai-nilai budaya yang terkandung dalam setiap permainan kerap luput terbaca.
Situasi itu berpotensi mengikis pengalaman pengunjung, seolah budaya hanya dipertontonkan, bukan dipahami.
Menjawab tantangan tersebut, tim Telkom University merancang solusi berbasis partisipasi komunitas. Area permainan ditata ulang sesuai jenis aktivitas, halaman multifungsi diperbaiki sebagai ruang ekspresi seni dan budaya, serta signage edukatif disediakan untuk menjelaskan makna dan cara bermain setiap permainan tradisional. Tak berhenti di sana, prototipe produk turunan juga dikembangkan, mengadaptasi bentuk dan fungsi mainan tradisional agar selaras dengan kebutuhan masa kini tanpa menghilangkan ruh aslinya.
Proses kolaborasi ini mencapai momentum penting melalui Forum Diskusi Kreatif yang digelar pada Rabu, 12 November 2025, dengan melibatkan langsung anggota Komunitas Hong. Forum tersebut menjadi ruang temu gagasan: membicarakan optimalisasi media sosial sebagai sarana promosi budaya, strategi revitalisasi permainan tradisional di era digital, hingga perancangan ruang interaktif yang berkelanjutan.
Dua sesi dokumentasi permainan tradisional turut dilakukan sebagai upaya memperkuat arsip budaya sekaligus membuka akses pengetahuan bagi publik. Dokumentasi ini akan dipublikasikan melalui akun Instagram Program Studi S1 Desain Produk Telkom University dan Komunitas Hong, serta kanal YouTube masing-masing institusi, menjadikan budaya lokal tak lagi tersembunyi, tetapi hadir di ruang digital global.
Melalui kolaborasi ini, Telkom University menegaskan bahwa desain bukan semata persoalan rupa dan fungsi. Ia adalah sikap, tanggung jawab, dan keberpihakan. Sebuah jembatan antara masa lalu dan masa depan.
Di Ciburial, mainan tradisional tidak sedang diawetkan seperti fosil. Ia sedang diajak berjalan, pelan, jujur, dan penuh makna, menuju generasi yang belum lahir, namun berhak mengenalnya. ***
