REKLAME, yang merupakan salah satu media periklanan, sudah menjadi lazim di kota-kota besar. Saking lazimnya, rasanya sulit untuk tidak melihat reklame di sebuah jalan. Ada saja reklame yang terpasang dengan berbagai jenisnya. Di jalan protokol biasanya sebuah billboard bakal “menghadang” mata pengguna jalan. Di jalan kecil pun ada spanduk atau poster produk yang ditempel di dinding ataupun tiang listrik.
Ini merupakan konsekuensi dari adanya perputaran roda perekonomian. Hukum pasar pun berlaku. Di tempat yang strategis dan banyak orang lalu lalang, tentunya akan menjadi pilihan pengiklan menyimpan reklamenya. Karena bisa menggiring pengguna jalan untuk melihat reklame yang pada akhirnya bisa mengikuti apa yang ditulis di reklame.
Saking maraknya, banyak reklame yang liar. Banyak yang memanfaatkan celah untuk memasang reklame tanpa izin. Ya, seperti poster di tembok-tembok ataupun spanduk di tiang listrik, bisa dikatakan tak berizin. Reklame yang resmi tentunya dengan membayar ke kas daerah dan biasanya ditempatkan di tempat yang tepat dan tidak mengganggu kepentingan publik.
Sayangnya, masih ditemukan reklame liar yang membuat pemasukan ke kas daerah menjadi minim. Tak hanya itu, reklame liar seringkali membahayakan pengguna jalan. Seperti pemasangan yang tak benar, membuat pandangan pemakai jalan terganggu bahkan tak sedikit spanduk yang menjulur ke jalan yang membahayakan.
Kepala Dinas Pemakaman dan Pertamanan Kota Bandung Yogi Suparjo tidak mengetahui secara persis berapa reklame liar. Menurut Yogi, pihaknya baru mendata 3.500 reklame di Bandung dan 171 diantaranya tidak memiliki izin.
Data dari Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan (DPPK) Kabupaten Bandung menunjukkan, reklame yang tidak berizin dan tidak membayar pajak ada 66 buah dengan nilai puluhan juta rupiah. Pemasang reklame tersebut antara lain produk rokok, rumah makan, operator seluler dan produk elektronik.
Kenyataan ini tentu sangat mengherankan, pasalnya perusahaan yang memasang bukan perusahaan kecil bahkan beberapa di antaranya berskala nasional. Inilah yang mungkin membuat perusahaan kecil juga nakal yakni memasang reklame sesuai keinginan dan bebas dari pajak.
Kondisi ini membuat potensi pendapatan asli daerah berkurang. Di Bandung, PAD dari reklame pada 2010 tercapai Rp 11,8 miliar dan pada 2011 diprediksi bisa tembus Rp 20 Miliar. Ketua Asosiasi Pengusaha Reklame Bandung, Aat Safaat menduga angka pemasukan harusnya lebih dari itu. Inilah yang menjadi tugas pemda mendata dan mengawasi reklame yang makin semrawut.
Belum lagi kini terlihat banyaknya reklame yang bekerja sama dengan pemilik rumah dengan mengecat rumah menggunakan warna dan logo perusahaan tertentu. Untuk reklame jenis ini belum ada peraturan bakunya. Apalagi pemilik rumah yang kecipratan pemasukan tentu dengan mudah mengizinkan. Sementara perusahaan yang memasang pun tidak butuh biaya yang besar untuk pasang iklan. Tak heran jika kini makin banyak rumah yang dicat dengan logo perusahaan tertentu.
Masalah reklame ini mesti menjadi perhatian tersendiri. Di Bandung, reklame merupakan satu dari tujuh objek pajak andalan selain hotel, restoran, tempat hiburan, penerangan jalan, parkir dan rumah sewa.
Sebaliknya, penertiban reklame liar bukan sekadar untuk mencapai target PAD. Akan lebih baik jika penertiban juga membidik reklame yang penempatannya seenaknya. Terutama reklame yang mengganggu ketertiban dan membahayakan masyarakat umum. Seperti spanduk yang menjulur ke jalan atau billboard dengan konstruksi yang jelek harus ditertibkan. Untuk reklame seperti itu, tak perlu ditagih lagi biayanya, langsung saja dibabat. (*)
Penulis: Darajat Arianto, Wartawan Tribun
Sumber: Tribun Jabar
3 pemikiran di “Reklame Marak, Pemasukan Tak Semarak”
pemerintah jago sekali klo tarik pajak ya…
Maju terus Desa kita, semoga semakin sukses, Amiin..
Seperti menangkap siluman ditengah hari bolong.
Sukses selalu
Salam
Ejawantah’s Blog