Program-program dalam upaya peningkatan akses kredit perbankan untuk usaha kecil, baik yang dibuat oleh pemerintah pusat maupun daerah, dinilai tidak memberikan hasil apa-apa untuk petani di pedesaan. Skim kredit apapun dari perbankan, sampai saat ini masih sulit didapatakan oleh petani.
Demikian dikemukakan Aang Gondadi, Ketua Poktan (kelompok tani) Mitra Bakti Asih, Desa Mekar Wangi, Kecamatan Cikadu, Kabupaten Cianjur, di Sekretariat Dewan Pengembangan Ekonomi (DPE) Kota Bandung, di Jalan Talaga Bodas, Bandung, Senin (23 April 2012).
“Kurang lebih sudah 15 tahun kami mencoba mengajukan pinjaman ke perbankan tak pernah berhasil. Terakhir kami mengajukan ke Bank BJB untuk program Kredit Cinta Rakyat (KCR), juga tidak ada hasil,” katanya.
Padahal, menurut Aang berbagai syarat agunan yang biasanya menjadi hambatan untuk mendapat kredit dari bank, juga sudah dipenuhi oleh pihaknya. Namun entah kenapa, sampai saat ini Poktan Mitra Bankti Asih belum juga bisa mendapatkan kredit.
Dicontohkannya, pengajuan paling akhir ke bank BJB untuk mendapatkan KCR, pihaknya mengajukan kredit sebesar 405 juta rupiah untuk usaha penggemukan 30 sapi lengkap dengan kandang dan pakan untuk 6 bulan, yang akan dikelolal untuk 15 orang petani di Poktan mereka.
Sekalipun sudah dilengkapi dengan perencanaan usaha, persyaratan untuk ajuan kredit, dan agunan berupa rumah dengan nilai kurang lebih 800 juta rupiah. Tatap saja Poktan mereka tidak mendapat lampu hijau untuk mendapatkan KCR.
“Padahal pengusaha di desa kamu yang bisnisnya relatif mapan, bisa sukses mendapakan KCR. Malah sudah mengajukan untuk yang kedua kalinya. Kami juga berani mengajukan ke BJB karena embel-embel cinta rakyatnya, tapi ternyata sama seja dengan bank lainnya,” katanya.
Menurut Aang pihaknya bersikukuh mengajukan kredit ke bank, karena ingin melepaskan anggota-anggotanya dari jeratan rentenir. Selama ini pihaknya yang hanya bisa mengandalkan rentenir untuk permodalan, relatif sangat sulit untuk bisa meningkatkan taraf hidup mereka.
Dicontohkannya dalam produksi gula merah, salah satu dari potensi di desa Mekar Wangi, kurang lebih 200 petani di sana harus pasrah aturan main rentenir. Karena sudah diijonkan, setiap kilogram gula merah yang diproduksi, harus dijual 6 ribu rupiah. Padahal harga di pasar untuk gula mereka paling rendah bisa mencapai 9 ribu rupiah.
“Selain produknya dibeli murah, petani-petani juga masih tetap harus membayar bunga 20 persen per bulan ke pihak rentenir. Setiap bulannya kurang lebih 9 ton gula merah yang kami hasilkan, silahkan hitung berapa kira-kira yang diambil rentenir dari kami. Karena itulah belasan tahun gagal, kami tetap ngotot mencoba ke bank,” katanya.
Menurut Aang buruknya kondis perekonomian, juga menjadi pendorong kaum perempuan di desanya bekerja menjadi TKW (tenaga kerja wanita) di luar negeri.
Kurang lebih 95 persen perempuan di Desa Mekar Wangi pernah menjadio TKW. “Kami ingin merubah kondisi ini semua. Kami hanya ingin diberi kesempatan untuk diberikan pinjaman dari bank,” katanya.
Sementara Wakil Ketua Umum Kadin Jabar, Bidang Pertanian, Kehutanan dan Peternakan, Sonson Garsoni kondisi tersebut menunjukan perlunya Pemerintah segera mendorong berdirinya bank-bank yang operasioanalnya khusus untuk segmen usaha mikro.
“Saat ini baru ada yang skim-skim kredit mikro, tapi dalam operasionalnya bank-nya belum betul-betul menggarap segmen mikro. Akibatnya, ada semacam missmatch antara kebutuhan pasar dengan layanan bank. Pakistan bisa sukses dengan pola grammen bank-nya, kenapa kita tidak bisa,” katanya. [pr]