05 Desember 2019. Di penghujung tahun ini, hujan mulai sering turun membasahi tanah-tanah kering. Selama beberapa bulan tak merasakan tetesan-tetesan air langit di Desa Ciburial. Aku, ya aku. Aku adalah pemuda tanggung yang masih belum menemukan arah perjalanan di sisa hidupku di dimensi fana ini. 28 tahun sudah Tuhan memberiku ruh yang masih setia menyatu dengan jasad. Di usia ini aku masih diberikan pelajaran-pelajaran tentang pentingnya arti membaca hati dan perasaan orang lain. Karena Tuhan memberiku musibah sekaligus anugerah berupa kepercayaan manusia untukku mengemban amanah sebagai pelaksana kebijakan di desa kelahiran ku. Hitam putih yang kurasakan menyatu dengan setiap arah pemikiranku yang berubah-ubah dalam memahami arti pentingnya musibah dan amanah ini. Kebahagiaan yang tak ternilai, kuumpamakan Putih yang menjadi kepuasan batinniyah yang tak tergambar, tercipta dari timbal balik balasan ekspresi senyuman tulus yang terlukis dalam raut wajah-wajah yang menjadikanku wasilah terlaksananya kebutuhan sosial mereka. Kegelisahan yang tiada putus, kuumpamakan hitam yang menjadi sumber kebimbangan sekaligus ketakutan akan datangnya hari pembalasan dan mahkamah keadilan Tuhan. Sekali lagi Neraka ini kuciptakan karena ketidakmampuanku untuk berbuat adil dalam menjalin hubungan kemanusiaan. Neraka ku adalah lidahkuNeraka ku adalah kedua matakuNeraka ku adalah kedua telingakuNeraka ku adalah hatiku Sejenak aku lelah dan takut langkahku terjerembab ke dalam pusaran neraka yang kuciptakan. Sedetik kemudian terlintas wajah-wajah ketulusan yang kuartikan sebagai bentuk ke-syukuran dan rasa manisnya terima kasih. 05 Desember 2019 adalah tentang kejujuran rasa, tentang kebebasan pikiran dalam menerjemahkan setiap bentuk. Kata dan prosa yang muncul karena kekalutan hati antara perbandingan musibah dan anugrah. Hitam dan putih menuju titik perhentian keselamatan dan kecelakaan. *** Gubahan : R