Kesenjangan yang besar antara perkotaan dan pedesaan dikhawatirkan terjadi jika pertumbuhan ekonomi tidak merata. Atas dasar hal tersebut, DPR meminta agar pembangunan ekonomi juga diarahkan ke desa. Anggota Komisi XI DPR RI Muhammad Firdaus, Senin, (21 Mei 2012) mengungkapkan, peningkatan pertumbuhan ekonomi, tidak saja diukur dengan banyaknya pembangunan gedung-gedung pencakar langit, dan menjamurnya pusat-pusat perbelanjaan di pusat kota. “Peningkatan pertumbuhan itu harus dirasakan oleh bangsa ini baik di pusat kota dan daerah, dengan terbukanya lapangan pekerjaan, berkurangnya kemiskinan dan penggangguran. Kalaulah hal ini dapat diatasi maka itulah yang dikatakan pertumbuhan ekonomi yang sesungguhnya,” ujarnya. Firdaus menambahkan, berdasarkan data, dalam 10 tahun ke depan, dampak kesenjangan pendapatan dan daya beli antara 20 persen warga kelas menengah atas, dan 80 persen warga miskin di Indonesia, sulit untuk dibendung. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, sebaran angka kemiskinan sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2011, jumlah penduduk miskin di desa selalu lebih besar dibanding dengan di kota. Salah satu sumbangan kenaikan angka kemiskinan di desa, antara lain, rendahnya tingkat pendidikan, banyak yang jadi buruh tani karena ketiadaan lahan, dan banyaknya anak dalam satu keluarga. Di tahun 2011, sebaran angka kemiskinan berjumlah 63,2 persen ada di desa, sedang 36,8 persen berada di perkotaan. Kemiskinan di perkotaan disebabkan, lowongan kerja yang sempit dan rendahnya kualitas sumber daya manusia. “Oleh karena itu, alangkah baiknya jika prioritas pembangunan diarahkan ke desa,” ujarnya. Selain jumlah angka kemiskinan dan keluarga pra sejahtera yang masih sangat tinggi, juga karena di desa yang kaya dengan sumber daya alam namun belum tergarap secara maksimal. Dengan begitu kata Firdaus, pengangguran yang memicu tingginya angka kemiskinan dapat ditekan. “Sehingga dapat meningkatkan pendapatan ekonomi keluarga, serta keluarga pra sejahtera menjadi keluarga sejahtera,” ujarnya. (asw/fajar}
Tagar: ekonomi
Sepuluh desa di Kabupaten Bandung dalam waktu dekat akan ditetapkan sebagai desa wisata melalui surat keputusan Bupati Bandung. Dengan status ini diharapkan kesepuluh desa itu bisa berkembang menjadi daerah tujuan wisata. Kepala Dinas Pemuda, Olahraga dan Pariwisata (Dispopar) Kabupaten Bandung, Marlan mengatakan, penetapan label desa wisata terutama untuk menggerakan ekonomi di daerah tersebut. “Kami berharap warga memanfaatkan momentum ini dengan memperbaiki kondisi desa mereka, minimal kebersihannya agar lebih ditingkatkan lagi,” kata Marlan di Soreang, Jumat (21/1/2011).
Desa dapat mendirikan badan usaha milik desa sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa (UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 213 ayat [1]). Substansi UU ini menegaskan tentang janji pemenuhan permintaan (demand complience scenario) dalam konteks pembangunan tingkat desa. Logika pendirian BUMDes didasarkan pada kebutuhan dan potensi desa, sebagai upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Berkenaan dengan perencanaan dan pendiriannya, BUMDes dibangun atas prakarsa (inisiasi) masyarakat desa, serta mendasarkan pada prinsip-prinsip kooperatif, partisipatif, (user-owned, user-benefited, and user-controlled), transparansi, emansipatif, akuntable, dan sustainable dengan mekanisme member-base dan self-help. Dari semua itu yang terpenting adalah bahwa pengelolaan BUMDes harus dilakukan secara profesional dan mandiri.
Urgensi Pembangunan Perdesaan dalam Perencanaan Pembangunan. Memandang desa sebagai basis potensial kegiatan ekonomi haruslah menjadi paradigma baru dalam program pembangunan ekonomi Indonesia secara keseluruhan. Perubahan kondisi internal dan ekternal yang terjadi menuntut kebijakan yang tepat dan matang dari para pembuat kebijakan dalam upaya pengembangkan potensi wilayah pedesaan.