Potensi sumber air di beberapa tempat kian menyusut. Padahal di negeri yang indah ini telah dikaruniai sumber-sumber mata air yang berlimpah. Akan tetapi, karunia yang berlimpah itu kini makin menghilang seiring pesatnya laju pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan. Penebangan hutan yang membabi-buta dan alih fungsi lahan yang kian merajalela. Hal itu yang membuat sumber-sumber air menjadi kering. Sedangkan kebutuhan penduduk akan kebutuhuan air akan semakin tinggi dan akan terus meningkat. Di tengah ancaman krisis air, tumbuh setitik harapan baru dari beberapa kelompok masyarakat di Jawa Barat yang telah memiliki kesadaran akan pentingnya air. Kesadaran itu ternyata berkembang ke pelosok-pelosok yang sejak dahulu mengalami krisis air bersih. Sehingga kini mulai mengelola air secara efektif. Pentingnya air bagi kehidupan sangat dirasakan oleh warga Desa Ciburial Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung. Sebelum tahun 2000, ribuan warga desa yang menetap di kawasan Bandung Utara ini hidup di tengah krisis air. Untuk mendapatkan air, warga Desa Ciburial harus naik turun lembah atau lereng bukit dan berjalan sekitar enam hingga tujuh kilometer. Untuk membuat sumur pun, mereka harus menggali tanah hingga kedalaman 24 meter. Namun jika musim kemarau sumurnya pasti kering. Warga menyatukan semangat dan kebersamaan untuk mengalirkan air ke rumah-rumah warga. Mengalirnya air bersih hingga dapat sampai ke rumah-rumah berawal dari bantuan Gubernur Jawa Barat. Yaitu berupa pipa sepanjang kurang lebih satu kilometer. Padahal untuk mendatangkan air dari sumbernya yang berjarak tujuh kilometer dibutuhkan dana sekitar satu milyar lebih. Kekurangan dana tersebut tidak lantas menjadi hambatan. Warga pun berinisiatif untuk mengatasi persoalan kesulitan air yang menjadi sumber kehidupan dengan cara turut bersama-sama menyisihkan sedikit dana untuk menutupi kekurangan itu dengan cara berswadaya. Sejak akhir tahun 1999 air sudah mengalir ke pusat desa. Meski tinggal di daerah berbukit, tetapi warga Desa Ciburial telah menerapkan sistem pengelolaan air bersih secara profesional. Layaknya perusahaan air minum, warga membentuk badan […]
Ketegori: Sejarah
Pada peringatan Hari Batik Nasional yang jatuh pada 2 Oktober 2011, Yayasan Batik Jawa Barat (YBJB) akan melakukan jalan santai bersama masyarakat sambil membawa aneka macam jenis batik khas Jabar di area Dago Car Free Day. Pada acara itu juga akan dimeriahkan aksi freeze flash mob pamer batik. Aksi jalan santai itu akan dimulai pukul 07.00 WIB di kediaman Wagub Jabar Dede Yusuf, Jalan Dago 148. Tak hanya itu, besok juga akan dilaunching ‘Balarea Batik Jabar’ sebagai forum pecinta batik di Jabar. Selain itu akan ada kegiatan belajar membatik dan melukis batik bagi anak-anak dan orang dewasa. Menurut Ketua YBJB Sendy Yusuf batik merupakan potensi bangsa yang luar biasa. Program trisula Batik Jabar yang dicanangkan tahun lalu akan tetap dilanjutkan. Ketiga bagian trisula adalah 1. Program dana bergulir bagi pengrajin, 2. pengolahan limbah cair, dan 3. kegiatan kampanye batik Jabar kepada masyarakat. “Semua kegiatan itu sudah kita lakukan dan akan terus dilakukan ke depannya,” ujar Sendy. Sumber : Detik Bandung
Pemerintah Hindia Belanda yang saat itu menguasai Jawa dan Nusantara, di bawah pimpinan Gubernur Jendral Herman Willem Daendles (1808-1811), mempunyai rencana membangun sebuah jalan yang membelah Pulau Jawa, menghubungkan Anyer di ujung barat dan Panarukan di ujung timur. Jalan ini, yang dikenal sebagai Jalan Raya Pos (Groote Postweg), membentang sepanjang kurang lebih 1000 kilometer. Pembuatan jalan tersebut dimaksudkan untuk mempermudah hubungan antara daerah-daerah yang berdekatan serta dilalui jalan tersebut. Atas perintah Daedles inilah, sejak tanggal 25 Mei 1810 , ibu kota Kabupaten Bandung yang semula berada di Karapyak mengalami perpindahan, mendekati Jalan Raya Pos.
Kabupaten Bandung lahir melalui Piagam Sultan Agung Mataram, yaitu pada ping Songo tahun Alif bulan Muharam atau sama dengan hari sabtu tanggal 20 April tahun 1641 M, sebagai Bupati Pertama pada waktu itu adalah Tumenggung Wiraangunangun (1641-1681 M). dari bukti sejarah tersebut maka ditetapkan bahwa tanggal 20 April sebagai tanggal Hari Jadi Kabupaten Bandung. Jabatan Bupati kemudian di gantikan oleh Tumenggung Nyili salah seorang putranya. Namun Nyili tidak lama memegang jabatan tersebut karena mengikuti Sultan Banten. Jabatan Bupati kemudian di lanjutkan oleh Tumenggung Ardikusumah, seorang Dalem Tenjolaya (Timbanganten) dari tahun 1681 -1704.