Senyap Hutan, Dengung Madu: Kisah dari Ciburial

Senyap Hutan, Dengung Madu: Kisah dari Ciburial

Di kaki-kaki bukit Bandung Utara, di antara kabut yang turun perlahan dan semilir wangi hutan pinus, ada sebuah desa yang berdetak dengan irama lebah—Ciburial. Di sini, dengung lebah bukan sekadar suara serangga yang lalu-lalang di udara; ia adalah nyanyian keseharian, denyut hidup, bahkan doa panjang yang disampaikan alam kepada manusia.

Dari celah-celah pohon aren dan bunga liar yang bermekaran, ribuan lebah beterbangan mencari sari, seolah menghafal setiap liku lembah dan tanjakan batu. Di tengah harmoni itu, berdirilah seorang lelaki bernama Aep, pewaris rahasia madu dari leluhurnya. Sejak kecil, ia belajar membaca bahasa lebah—bukan lewat buku, tapi lewat pengalaman, lewat sengatan, lewat kesabaran.

“Dari kakek dulu,” ujarnya sambil tersenyum kecil, “saya diajari untuk tidak takut pada lebah, tapi menghormatinya.”
Dan sejak tahun 2004, penghormatan itu berubah menjadi pengabdian.

Kini, di halaman rumahnya yang menghadap lereng, tersusun lebih dari tiga puluh kotak kayu berisi koloni lebah—masing-masing seperti kerajaan kecil dengan ratu, prajurit, dan pekerjanya sendiri. Dari tiap kotak itu, Aep memanen madu yang kental dan jernih, seolah menampung sinar matahari yang larut dalam cairan emas.

Pembeli datang silih berganti. Ada yang dari Bandung, ada pula dari Indramayu, Depok, Cirebon, hingga Garut. Mereka tak hanya membeli madu, tapi juga ingin merasakan secuil keajaiban dari Ciburial: keseimbangan antara manusia dan makhluk mungil bersayap itu.

Tak berhenti di situ, Aep pun menjual sarang lebah siap konsumsi, bahkan koloni lengkap bagi mereka yang ingin meniti jalan yang sama. Sekolah-sekolah sering datang, membawa rombongan anak-anak dengan mata berbinar, ingin tahu bagaimana lebah mencipta madu—dan di sinilah Aep menjadi guru yang tak pernah bosan bercerita.

Tentu, hidup bersama lebah tak selalu manis seperti madunya. Sengatan adalah bahasa keras yang kadang harus diterima. Tapi Aep sudah melampauinya. Kini ia membuka sarang lebah tanpa pelindung, seolah lebah-lebah itu sudah mengenalinya, bahkan menyambutnya.

“Sudah biasa,” katanya ringan. “Mungkin karena sering disengat, jadi tubuh saya sudah kebal. Lebahnya pun sudah tahu saya ini bukan musuh.”

Aep tahu, suatu hari nanti, mungkin ada yang melanjutkan pekerjaannya, seperti ia melanjutkan jejak kakeknya. Sebab madu, baginya, bukan sekadar dagangan. Ia adalah warisan pengetahuan, sebuah hubungan kuno antara manusia dan alam yang tak boleh putus.

“Mudah-mudahan,” ujarnya lirih, “madu tetap dicintai manusia. Karena di dalam setiap tetesnya, ada doa, ada kerja keras lebah, dan ada cinta yang tak terlihat.”

Dan di sore yang tenang itu, saat matahari condong ke barat dan lembah Ciburial bersinar keemasan, suara dengung lebah kembali terdengar. Seperti kidung lama yang tak pernah usai—tentang hidup, ketekunan, dan harmoni yang abadi antara manusia dan lebah madu. ***

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

Enable Notifications OK No thanks