Sejarah Terbentuknya Desa Ciburial

Sejarah Terbentuknya Desa Ciburial

[Artikel ini akan senantiasa diperbaharui seiring pemerolehan informasi terkait sejarah Desa Ciburial]

Perihal terbentuknya Desa Ciburial hingga sekarang sulit diketahui secara pasti kapan awalnya, akan tetapi mengacu pada prasasti Kawali di Jawa Barat sekitar tahun 1350 M, dan prasasti Walandit di daerah Tengger Jawa Timur pada tahun 1381 M, maka desa sebagai unit terendah dalam struktur pemerintahan Indonesia telah ada sejak dahulu kala dan murni Indonesia bukan bentukan Belanda. Terbentuknya desa diawali dengan terbentuknya kelompok masyarakat akibat sifat manusia sebagai makhluk sosial, dorongan kodrat, atau sekeliling manusia, kepentingan yang sama dan bahaya dari luar.

Istilah desa berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya tanah tumpah darah, dan perkataan desa hanya dipakai di daerah Jawa dan Madura, sedang daerah lain pada saat itu (sebelum masuknya Belanda) namanya berbeda seperti gampong dan meunasah di Aceh, huta di Batak, nagari di Sumatera Barat dan sebagainya. Pada hakikatnya bentuk desa dapat dibedakan menjadi dua yaitu desa geneologis dan desa teritorial. Sekalipun bervariasi nama desa ataupun daerah hukum yang setingkat desa di Indonesia, akan tetapi asas atau landasan hukumnya hampir sama yaitu adat, kebiasaan dan hukum adat. 

Desa Pada Masa Kolonial Belanda

Jauh sebelum Belanda menjajah Indonesia, desa dan yang sejenis dengan itu telah ada mapan di Indonesia. Mekanisme penyelenggaraan pemerintahannya dilaksanakan berdasarkan hukum adat. Setelah pemerintah Belanda memasuki Indonesia dan membentuk undang-undang tentang pemerintahan di Hindia Belanda (Regeling Reglemen), desa diberi kedudukan hukum. Kemudian untuk menjabarkan peraturan perundangan dimaksud, Belanda mengeluarkan Inlandsche Gemeente Ordonnantie, yang hanya berlaku untuk Jawa dan Madura.

Sekalipun Regeling Reglemen, akhimya pada tahun 1924 diubah dengan Indische Staatsregeling akan tetapi pada prinsipnya tidak ada perubahan oleh karena itu IGO masih tetap berlaku. Kemudian untuk daerah luar Jawa, Belanda mengeluarkan Inlandsche Gemeente Ordonnantie Buitengewesten (IGOB) di luar Jawa dan Madura atau disingkat IGOB tahun 1938 no. 490.

Ada tiga unsur penting dari desa menurut IGO yang penting, yaitu kepala desa, pamong desa dan rapat desa, kepala desa sebagai penguasa tunggal dalam pemerintahan desa, ia adalah penyelenggara urusan rumah tangga desa dan urusan-urusan pemerintah, dalam pelaksanaan tugasnya harus memperhatikan pendapat desa. Di dalam pelaksanaan tugasnya kepala desa dibantu oleh Pamong desa yang sebutannya berbeda-beda daerah satu dengan yang lainnya. Untuk hal-hal yang penting kepala desa harus tunduk pada rapat desa.

Desa Pada Masa Penjajahan Jepang

Pada tanggal 7 Maret 1942, Jepang berkuasa di Indonesia. Seluruh kegiatan pemerintahan dikendalikan oleh balatentara Jepang yang berkedudukan di Jakarta untuk Jawa dan Madura, Bukit Tinggi untuk Sumatera dan Angkatan Laut di Ujung Pandang untuk kepulauan lainnya. Karena hanya singkat masa pemerintahannya, maka tidak banyak perubahan dalam struktur dan sistem pemerintahan termasuk pemerintahan desa. Ini dapat dilihat pada Osamo Seirei 1942, hanya saja beberapa sebutan daerah dan kepala daerahnya diganti dengan bahasa Jepang misalnya Syu – Syuco, Ken – Kenco, Si -Co, Tokubetu Si – Tokubetu Sico, Gun – Gunco, Son – Sonco dan Ku – Kuco (lihat uraian pemerintahan pada masa Jepang). Dapat dikatakan pemerintahan secara umum menghapuskan demokrasi dalam pemerintahan daerah walaupun khusus untuk Ken, Si dan Tokubetu Si sistem itu dilaksanakan secara terbatas.

Begitu juga halnya dengan pemerintahan desa, pada prinsipnya IGO dan peraturan lainnya tetap berlaku dan tidak ada perubahan. Untuk itu desa tetap ada dan berjalan sesuai dengan pengaturan sebelumnya. Ada sedikit perubahan khususnya tentang pemilihan kepala desa berdasarkan Osamu Seirei No. 7 tahun 1944. Hal itu berlanjut sampai Indonesia merdeka, setelah Indonesia merdeka, undang-undang ini banyak diubah.

Ciburial dari Masa ke Masa

Ciburial 18xx – 1906

Secara resmi, kelistrikan menggunakan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di era Hindia Belanda dimulai pada tahun 1906, saat PLTA Pakar di Desa Ciburial dengan sumber air dari Sungai Cikapundung dengan kekuatan 800 KW diresmikan dan diberi nama Waterkrachtwerk Pakar aan de Tjikapoendoengnabij Dago di Bandung, Jawa Barat. Pada tahun 1913, PLTA tersebut mulai dikelola BEM (Bandoengsche Electriciteits Maatschappij) dan dapat dianggap sebagai salah satu pionir dalam pembangkitan listrik dengan tenaga air.

Ada sumber lain yg mengatakan bahwa sebelum PLTA Pakar di Desa Ciburial dibangun, sebuah PLTM (Pembangkit Listrik Mikro Hidro atau PLTA berskala mikro/kecil) berkapasitas 330 KW telah dibangun di Gunung Harun, di daerah yg sekarang termasuk Kanagarian Tambang Kecamatan IV Jurai, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Pembangkit listrik yg dinamai PLTM Salido Kecil ini awalnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan listrik di tambang Gunung Harun. Sayangnya catatan kapan persisnya PLTM ini dibangun tidak ada, hanya diperkirakan akhir abad XIX saja.

Waterkrachtwerk Bengkok aan de Tjikapoendoeng - Bandung
Waterkrachtwerk Bengkok aan de Tjikapoendoeng – Bandung

Ciburial 1906

Pembangunan Kolam Pakar Desa Ciburial dimulai pada tahun 1906 yaitu dengan membuat terowongan air yang saat ini dikenal dengan sebutan Goa Belanda. Fasilitas tersebut dibuat oleh BEM (Bandoengsche Electriciteit Maatschappij) seiring dengan berkembangnya Kota Bandung menjadi kotapraja (pada tahun 1906) dengan jumlah penduduk yang mencapai lebih dari 47.500 jiwa. Tujuan dari dibangunnya fasilitas tersebut adalah untuk penyaluran listrik ke rumah-rumah orang Belanda di Bandung Utara.

Ciburial 1913

Pada tahun 1913, PLTA Pakar di Desa Ciburial mulai dikelola BEM (Bandoengsche Electriciteits Maatschappij) dan dapat dianggap sebagai salah satu pionir dalam pembangkitan listrik dengan tenaga air.


Ciburial 1912

Perintisan Taman Hutan Raya di Desa Ciburial mungkin sudah dilakukan sejak tahun 1912 bersamaan dengan pembangunan terowongan penyadapan aliran sungai Ci Kapundung (kemudian hari disebut sebagai Gua Belanda).

Ciburial 1918

Pada tahun 1918 fasilitas terowongan air (saat ini dikenal dengan sebutan Goa Belanda) Kolam Pakar Desa Ciburial berubah fungsi untuk kepentingan militer dengan penambahan beberapa ruang di sayap kiri dan kanan terowongan utama. Panjang keseluruhan gua ini mencapai 547 meter. Tinggi gua mencapai 3.2 meter dan jumlah cabang lorong gua mencapai 15 buah.

Jalan Dago Bandung dekat Pembangkit Listrik Dago - Bengkok.  Tampak dari jauh pipa pesat PLTA. - Kartu pos tahun 1921
Jalan Dago Bandung dekat Pembangkit Listrik Dago – Bengkok. Tampak dari jauh pipa pesat PLTA. – Kartu pos tahun 1921

Ciburial 1922

Peresmian Taman Hutan Raya di Desa Ciburial sebagai hutan lindung dilakukan pada tahun 1922.


Ciburial 1923

Pembangkit Listrik Tenaga Listrik (PLTA) Bengkok yang terletak di daerah Dago Bandung Jawa Barat dengan kapasitas 3×2 Megawatt mulai dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda dan sudah beroperasi sejak tahun 1923.

Ciburial 1960

Kawasan tahura djuanda dirintis pembangunannya sejak tahun 1960 oleh Mashudi (Gubernur Jawa Barat) dan Ir. Sambas Wirakusumah yang pada waktu itu menjabat sebagai Administratur Bandung Utara merangkap Direktur Akademi Ilmu Kehutanan, dan mendapat dukungan dari Ismail Saleh (Menteri Kehakiman) dan Soejarwo (Dirjen Kehutanan Departemen Pertanian).

[Artikel ini akan senantiasa diperbaharui seiring pemerolehan informasi terkait sejarah Desa Ciburial]

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.