Relasi Desa dan Kecamatan

 

Seiring dengan diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 yang direvisi dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan Daerah, pemerintah kecamatan mengalami perubahan status, dari “perangkat wilayah’ dalam asas dekonsentrasi menjadi “perangkat daerah” dalam asas desentralisasi.

Sebagaimana disebutkan dalam pasal 120 UU No. 32 tahun 2004, perangkat daerah kabupaten/kota terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, Dinas daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan dan kelurahan. Hal ini ditegaskan kembali dalam pasal 1 PP no. 72/ 2005 bahwa kecamatan adalah wilayah kerja camat sebagai perangkat daerah kabupaten dan daerah kota.

Sebagai konsekuensi dari perubahan status tersebut adalah camat bukan lagi sebagai kepala wilayah. Camat bukan lagi menjadi kepala wilayah yang memiliki kekuasaan terhadap wilayah administrasi pemerintahan yang dipimpinnya.

Di wilayah kecamatan, camat hanyalah sebagai perangkat daerah yang memiliki kedudukan yang sama dengan perangkat daerah lainnya yang ada di kecamatan seperti kepala cabang dinas, kepala UPTD, dan sebagainya. Dengan demikian, camat tidak dengan serta merta memegang kewenangan penuh untuk menjalankan urusan-urusan pemerintahan umum yang meliputi pengawasan, koordinasi serta kewenangan residu lainnya (Wasistiono, 2002: 27).

Status wilayah kecamatan pun berubah dari wilayah administrasi menjadi wilayah kerja camat sebagai perangkat daerah kabupaten/kota. Kini wilayah kecamatan hanya menjadi wilayah kerja dari kantor kecamatan yang merupakan salah satu perangkat daerah unsur lini.

Daerah kecamatan bukan lagi menjadi wilayah kekuasaan camat sebagai kepala atau penguasa wilayah. Daerah kecamatan hanyalah batas spasial bagi operasionalisasi camat sebagai perangkat daerah.

Sebagaimana diatur dalam pasal 126 ayat (2) UU No. 32 tahun 2004, kewenangan yang dimiliki oleh kecamatan merupakan hasil pelimpahan sebagian wewenang bupati atau walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah. Selain itu, sebagaimana diatur dalam dalam ayat (3), kecamatan juga bertugas menyelenggarakan tugas umum pemerintahan yang meliputi:

  1. mengkoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat;
  2. mengkoordinasikan upaya penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum;
  3. mengkoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan;
  4. mengkoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum;
  5. mengkoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat kecamatan;
  6. membina penyelenggaraan pemerintahan Desa dan/atau kelurahan;
  7. melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan Desa atau kelurahan.

Sementara dalam pasal 127 UU No. 32 tahun 2004 disebutkan bahwa kelurahan dibentuk di wilayah kecamatan dengan Perda berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Disampaikan pula dalam pasal 127 ayat (4) bahwa Lurah diangkat oleh Bupati/ Walikota atas usul Camat dan dalam ayat (5) ditegaskan dalam melaksanakan tugasnya, Lurah bertanggungjawab kepada Bupati/ Walikota melaui Camat. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, lurah melakukan koordinasi dengan Camat dan instansi vertikal yang berada di wilayah kerjanya (pasal 7 PP 73/2005). Dalam pasal 23 disebutkan Pembinaan teknis dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan kelurahan dan lembaga kemasyarakatan dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dan Camat. Pembinaan teknis dan pengawasan Camat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) meliputi :

  1. memfasilitasi administrasi tata pemerintahan kelurahan;
  2. memfasilitasi pengelolaan keuangan kelurahan dan pendayagunaan aset daerah yang dikelola oleh kelurahan;
  3. memfasilitasi penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan;
  4. memfasilitasi pelaksanaan tugas lurah dan perangkat kelurahan;
  5. memfasilitasi upaya penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum;
  6. memfasilitasi pengembangan lembaga kemasyarakatan;
  7. memfasilitasi pembangunan partisipatif;
  8. memfasilitasi kerjasama kelurahan dengan pihak ketiga; dan
  9. memfasilitasi pelaksanaan pemberdayaan masyarakat kelurahan.

Berbeda dengan posisi Camat yang relatif kuat dalam relasi dengan kelurahan, maka posisi kecamatan dalam kaitannya dengan Desa ditekankan pada dua: pertama, intermediary agency (kalau tidak mau dikatakan sebagai “tukang pos”. Hal ini terlihat jelas dalam pasal 15 ayat (3), PP no. 72/2005 disebutkan bahwa laporan penyelenggaraan pemerintahan Desa disampaikan kepada Bupati/Walikota melalui Camat 1 (satu) kali dalam satu tahun dan Laporan akhir masa jabatan Kepala Desa disampaikan kepada Bupati/Walikota melalui Camat dan kepada BPD.

Posisi kedua adalah posisi fasilitator. Hal ini ditegaskan dalam pasal 98 ayat (2) PP no. 72/2005 yang menyebutkan Pemerintah Kabupaten/Kota dan Camat wajib membina dan mengawasi penyelenggaraan pemerintahan Desa dan lembaga kemasyarakatan. Pembinaan dan pengawasan Camat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98, meliputi:

  1. memfasilitasi penyusunan peraturan Desa dan peraturan kepala Desa;
  2. memfasilitasi administrasi tata pemerintahan Desa;
  3. memfasilitasi pengelolaan keuangan Desa dan pendayagunaan aset Desa;
  4. memfasilitasi pelaksanaan urusan otonomi daerah Kabupaten/Kota yang diserahkan kepada Desa;
  5. memfasilitasi penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan;
  6. memfasilitasi pelaksanaan tugas kepala Desa dan perangkat Desa;
  7. memfasilitasi upaya penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum;
  8. memfasilitasi pelaksanaan tugas, fungsi, dan kewajiban lembaga kemasyarakatan;
  9. memfasilitasi penyusunan perencanaan pembangunan partisipatif;
  10. memfasilitasi kerjasama antar Desa dan kerjasama Desa dengan pihak ketiga;
  11. memfasilitasi pelaksanaan pemberdayaan masyarakat Desa.;
  12. memfasilitasi kerjasama antar lembaga kemasyarakatan dan kerjasama lembaga kemasyarakatan dengan pihak ketiga;
  13. memfasilitasi bantuan teknis dan pendampingan kepada lembaga kemasyarakatan; dan
  14. memfasilitasi koordinasi unit kerja pemerintahan dalam pengembangan lembaga kemasyarakatan.

 

Mempelajari perkembangan kerangka regulasi nasional tentang kecamatan dan hubungan kecamatan dengan Desa/ kelurahan, ada beberapa poin-poin kritis yang perlu didiskusikan lebih lanjut.

Pertama, posisi Kecamatan yang mengambang. Hal ini terlihat dari ketidakjelasan definisi dan ruang lingkup dari tugas dan kewenangan yang mereka miliki. Misalnya definisi dan ruang lingkup kewenangan fasilitasi dan koordinasi.

Ketidakjelasan ruang lingkup ini seringkali menempatkan kecamatan pada posisi yang tidak jelas dan “mengambang”. Disatu sisi, menurut UU 32/2004 dan PP no. 72/2005, kecamatan sepertinya menerima pelimpahan banyak kewenangan namun tidak cukup menjadi “senjata” yang mumpuni; seperti mempunyai kewenangan membina dan mengawasi penyelenggaraan pemerintahan Desa dan lembaga kemasyarakatan.

Namun, dalam UU itu juga disebutkan bahwa Camat hanya sebagai bagian dari perangkat daerah yang kewenangannya bisa ditafsirkan terbatas hanya semata-mata menjadi “tukang pos” antara Desa dengan pemerintah kabupaten. Perdebatan tentang eksistensi kecamatan sampai pada beberapa pilihan: pilihan ekstrim adalah pembubaran; pilihan beriutnya adalah dilakukan redefinisi/ reposisi kecamatandan pilihan terakhir kecamatan tetap dalam posisi saat ini namun dilakukan dengan memperjelas fungsinya.

Kedua, bagaimana menempatkan kecamatan, apakaah kecamatan dilihat sebagai institusi birokrasi ataukan arena (space)? Kalau dilihat sebagai institusi maka kecamatan merupakan bagian dari struktur pemerintahan di ranah lokal. Sedangkan, kecamatan sebagai arena (space) merupakan cara pandang yang menempatkan kecamatan merupakan ruang bagi Desa untuk memenuhi kebutuhan bersamanya, baik dalam pelayanan publik maupun pembangunan.

Ketiga, penyeragaman pengaturan tentang kecamatan. Masalah yang terkait dengan kewenangan kecamatan lainnya adalah adanya kecenderungan penyeragaman format pengaturan kecamatan. Padahal masing-masing daerah memiliki karakteristik yang sangat variatif; baik dari sisi luas geografis, relasi antar Desa dan sebagainya. Bila pengaturan kecamatan cenderung seragam dan tidak sensitif dengan keragaman konteks daerah maka dapat dipastikan upaya penanganan masalah-masalah publik dan proses delivery pelayanan publik yang dilakukan oleh kecamatan tidak akan pernah berjalan secara optimal.

Poin kritis keempat adalah “Mindset” kecamatan sebagai wilayah adminsitratif yang belum berubah. Ironisnya, dalam kenyataan mindset lama yang menganggap kecamatan sebagai wilayah administrasi pemerintahan dan camat sebagai sebagai penguasa wilayah masih mengakar sangat kuat.

Baik masyarakat maupun pemerintah Desa sendiri secara faktual masih melihat camat sebagai kepala wilayah dengan fungsi-fungsi sosial yang mengikat. Hingga saat ini, Desa masih menempatkan camat sebagai kepala wilayah yang memiliki peran-peran sosial seperti mediasi konflik, komunikasi sosial, memimpin acara-acara sosial, dan sebagainya. Camat masih ditempatkan sebagai salah satu tokoh masyarakat dan penguasa penting di wilayah kecamatan yang diharapkan dengan kekuasaan yang dimilikinya akan memainkan peran-peran sosial lebih jauh.

***

Dikutip dari: Naskah Akademis RUU tentang Desa (Direktorat Pemerintahan Desa dan Keluarahan, Dirjen PMD, Depdagri.

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.