Komunitas Hong: Lestarikan Permainan Tradisional Indonesia

Di Komunitas Hong, empat kali dalam sepekan, sekitar 50 orang para pegiatnya yang rata-rata masih berusia sekolah, berkumpul untuk bermain di sebuah tempat bernama Pakarangan Ulin. Pakarangan Ulin berlokasi di Desa Ciburial, Kec. Cimenyan, Kab. Bandung.

Komunitas Hong, sebuah komunitas bermain yang mencoba melestarikan permainan tradisional Indonesia, khususnya kaulinan (permainan) yang dikenal di Tatar Sunda. “Sekarang jumlah yang sudah kami kumpulkan sudah ada 890 jenis,” kata pendiri Komunitas Hong, M. Zaini Alif.

Komunitas Hong berdiri pada 2003 lalu karena kesenangan Zaini, akan permainan tradisional. Lelaki kelahiran Subang 37 tahun lalu ini kerap rindu akan masa kecilnya. Ia rindu masa ketika ia dan kawan-kawannya yang tinggal jauh dari kota terpaksa membuat mainan sendiri dari bahan-bahan sederhana yang ada si sekitar. Sebab tak ada toko mainan di dekat rumahnya. Kalau pun ada, belum tentu mereka sanggup untuk membelinya.

Kata “Hong”, diambil Zaini dari teriakan anak-anak saat bermain petak umpet. Itu sengaja dipilihnya agar semakin mengakrabkan anak dengan istilah yang ada di dalam setiap permainan.

“Hong! Itu teriakan yang biasa dilontarkan sang kucing saat menemukan sang tikus yang sedang bersembunyi dalam permainan petak umpet ala Sunda,” katanya.

Kerkeran. Itu adalah sebuah mainan yang pertama kali dibuat Zaini dan meninggalkan kesan yang amat mendalam. Kerkeran adalah mainan sejenis kipas angin sederhana yang terbuat dari dari biji pohon karet dan kluwak yang dipakai sebagai penyangga baling-baling yang terbuat dari bambu. Untuk memainkannya tinggal menarik tali dari tanaman rambat yang sudah tergulung pada peyangga baling-baling. “Ker, ker, ker,” begitu suara yang keluar dari mainan itu.

Di Komunitas Hong, bermain bukan hanya menjadi lihai dan tangkas. Tapi, juga mengenal dan menyelami arti dan makna dari setiap jenis permainannya. Permainan anak-anak tradisional, kata Jae, bisa membantu membentuk watak anak. Terutama yang terkait dengan daya kreatif, inovatif, jiwa sosial, kehidupan berbudaya, berbudi, dan beriman.

“Berbeda dengan permainan anak yang modern seperti sekarang,” kata Zaini yang sehari-hari juga berprofesi sebagai pengajar di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI).

Keasyikan mengolah permainan, membetot rasa penasaran Zaini. Walhasil ia lantas terjun menyelami penelitian permainan tradisional sejak tahun 1996, jauh sebelum ia membentuk Komunitas Hong. Penelitiannya itu bermula dari permainan tradisional Sunda yang ada di sekitarnya.

“Jumlah awalnya ada sekitar 250 jenis dan terus bertambah hingga sekarang,” kata Zaini. Dari penelitian inilah, Zaini kemudian menemukan kalau permainan tradisional itu merupakan cara paling baik bagi seorang anak untuk mengenal diri dan lingkungannya.

Zaini tidak anti terhadap keberadaan permainan modern seperti Playstation, X Box atau Nintendo Wii. Ia memandang mainan modern tersebut juga bermanfaat untuk melatih kemampuan anak. Misalnya dalam pengetahuan bahasa Inggris, kecakapan otak, dan terapi fisik.

“Tapi sayang akhirnya orientasi anak jadinya hanya menang dan kalah,” katanya.

Anak-anak yang bermain di Komunitas Hong ini bukan asal bersenang-senang. Tapi mereka sedang mempelajari budayanya untuk kemudian bisa mengenal jati dirinya sendiri.

Dapat Penghasilan Gara-Gara Bermain

Siapa bilang bermain tidak bisa menghasilkan uang? Coba tengok pengalaman Cecep Imansyah, 25 tahun yang aktif di Komunitas Hong.

Sehari-hari Cecep dipercaya sebagai “Pak Lurah” di komunitas yang mengumpulkan dan mengkaji permainan tradisional ini. Kalau ada kegiatan, Cecep yang jadi koordinator lapangan. Tugasnya mengatur dan menjaga anak-anak.

Saat ini, Komunitas Hong sudah mulai dikenal masyarakat. Tidak sedikit tamu dari dalam dan luar negeri yang datang ke Pakarangan Ulin, tempat Cecep dan para anggota Komunitas Hong berlatih dan mendalami permainan tradisional.

Setiap permainan memang ada latihannya, karena tidak sedikit permainan tradisional yang dimainkan sembari pemainnya bernyanyi.

Permainan “Perepet Jengkol”

“Tidak pakai teks langsung diberi contoh lagu dan gerakannya. Seperti main perepet jengkol, oray-orayan, dan paciwit-ciwit lutung. Liriknya berbahasa Sunda jadi harus sedikit dilatih,” katanya.

Meski tidak mengerti arti dari lagu yang dinyanyikannya, anak-anak itu tetap menyanyikannya sambil bermain. “Nanti pelan-pelan diberitahu artinya. Karena ada nilai-nilai filosofis juga di dalamnya. Jadi kalau mau main engkle dibilang buat melatih keseimbangan, padahal ada nilai lebih di sana,” tambah Cecep.

Menurut warga asli Desa Ciburial, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung ini, menjadi lurah di Komunitas Hong, memberikan kesenangan dan kepuasaan batin. Selain itu, ia pun dapat memetik sedikit penghasilan untuk penghidupannya.

Cecep tidak melanjutkan sekolahnya ke SMA pada tahun 2002. Alasannya klasik, lantaran tidak punya uang. Untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya, Cecep berjualan minuman ringan di seberang rumahnya, Taman Hutan Raya Djuanda atau Dago Pakar.

“Tapi sekarang dapat lebih dalam segala hal. Bukan cuma secara ekonomi tapi secara pengalaman juga,” ujarnya.

Cecep mengaku mendapatkan pemasukan minimal satu juta rupiah untuk setiap kegiatan yang dilaksanakan di luar kota. Untuk kegiatan di dalam kota, dia dibayar setengahnya. Saat ini, Komunitas Hong mulai melebarkan sayap lewat paket pelatihan luar ruang (outbound) untuk berbagai instansi atau perusahaan.

“Ini adalah cara yang paling menyenangkan untuk mengenal permainan tradisional,” kata Cecep. [YNB|Tarlen Handayani]

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

7 pemikiran di “Komunitas Hong: Lestarikan Permainan Tradisional Indonesia”

    • Ayi Sumarna
    • Ayi Sumarna